MAKALAH
Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an Mengenai Subyek dan Obyek
Dalam Pendidikan
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Dosen
Pengampu: Dewi Urifah.M.Pd.I

Disusun Oleh:
Siti Khotijah (23060150026)
JURUSAN TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM S1
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
IAIN SALATIGA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan sangat penting bagi semua umat manusia untuk menjalani kehidupan
di dunia dan akhirat. Tanpa adanya pendidikan manusia tidak dapat menjalani
kehidupan dengan baik. Oleh karena itu dalam pendidikan melibatkan sebuah
subyek maupun obyek yang sekiranya dapat membantu untuk memperoleh ilmu,
sehingga dapat terselenggaranya sebuah pendidikan. Yang bertujuan memperoleh
manfaat di dunia maupun diakhirat. Maka dari itu setiap manusia diwajibkan
untuk menuntut ilmu melalui pendidikan dengan bersungguh-sungguh sehingga
tercapai tujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah dalam mencari ilmu.
Al-qur’an adalah
kalamullah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebagai pedoman bagi kehidupan manusia (way of life). Al-qur’an mengandung
beberapa aspek yang terkait dengan pandangan hidup yang dapat membawa manusia
ke jalan yang benar dan menuju kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dari beberapa aspek tersebut, secara global terkandung materi tentang kegiatan
belajar-mengajar atau pendidikan yang tentunya membutuhkan komponen- komponen
pendidikan, diantaranya yaitu pendidik dan peserta didik.
Pendidik dalam proses
pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk mencapai tujuan
pendidikan. Selain pendidik, peserta didik juga mempunyai peran penting dalam
proses pendidikan, tanpa adanya peserta didik, maka pendidik tidak akan bisa
menyalurkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga proses pembelajaran tidak
akan terjadi dan menghambat tercapainya tujuan pendidikan antara pendidik dan
peserta didik harus sejalan agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Proses pendidikan dalam kehidupan
manusia tidak terlepas dari peran pendidik dan peserta didik itu sendiri.
Berhasil atau gagalnya pendidikan diantaranya ditentukan oleh kedua komponen
tersebut. Mulai dari kemapanan ilmu pengetahuan pendidik, sampai kemampuan
pendidik dalam menguasai objek pendidikan, berbagai syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang pendidik, motivasi belajar peserta didik, kepribadian anak didik
dan tentu saja pengetahuan awal yang dikuasai oleh peserta didik. Agar hasil
yang direncanakan tercapai semaksimal mungkin. Disinilah pentingnya pengetahuan
tentang subjek pendidikan.
1.2. RumusanMasalah
1.
Apa pengertian pendidikan
?
2.
Apa yang
dimaksud dengan subyek dan obyek pendidikan ?
3.
Apa saja sumber subyek dan obyek pendidikan dalam tafsir
ayat-ayat Al-Qur’an ?
1.3. Tujuan Permasalahan
1.
Untuk mengetahui pengertian tujuan pendidikan
2.
Untuk mengetahui
maksud dari subyek dan obyek penididikan
3.
Untuk mengetahui
sumber tentang tafsir ayat-ayat Al-Qur’an mengenai subyek dan obyek dalam pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pendidikan
Pendididkan merupakan bantuan bimbingan yang diberikan pendidik terhadap
peserta didik menuju kedewasaannya. Sejauh dan sebesar apapun bantuan yang
diberikan sangat berpengaruh oleh pandangan pendidik terhadap kemungkinan
peserta didik untuk di didik. Sesuai dengan fitrahnya manusia adalah makhluk
berbudaya yang mana manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak mengetahui
apa-apa dan ia mempunyai kesiapan untuk menjadi baik atau buruk.
Secara
etimologi, seorang pendidik adalah orang yang memberikan bimbingan dalam
melakukan kegiatan pada bidang pendidikan.
Secara
terminology, terdapat beberapa pendapat pakar pendidikan tentang pengertian
pendidik, antara lain:
1.
Ahmad D. Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggung jawab
untuk mendidik.
2.
Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidik dalam Islam sama dengan teori di barat
yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap peserta didik.
3.
Muri Yususf, mengemukakan bahwa pendidik adalah individu yang mampu
melaksanakan tindakan mendididk dalam situasi pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Tujuan pendidikan berarti sasaran yang ingin dicapai setelah melalui
proses pendidikan, artinya pendidikan yang merupakan suatu proses mempunyai
target atau tujuan yang ingin dicapai, dimana tujuan tersebut harus melekat
atau dimiliki oleh peserta didik setelah melalui proses tersebut. Peserta didik
diharapkan memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan peringkat pendidikan yang
dilaluinya. Kompetensi itu meliputi pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Ketiga
ranah ini merupakan suatu sistem yang saling berkait, pengetahuan melahirkan
sikap dan kedua-duanya dapat pula menghasilkan ketrampilan. Kompetensi
ketrampilan tidak akan dimiliki siswa tanpa kompetensi pengetahuan dan sikap.
Penyelenggaraan
pendidikan, baik pada tingkat lembaga maupun dalam proses pemblajaran,
mempunyai target atau sasaran yang ingin dicapai. Guru dan siswa mesti
mengetahuinya, guru mesti tahu apa yang ia inginkan dari muridnya setelah
berlangsungnya proses pembelajaran. Demikian pula peserta didik, mereka harus
tahu apa yang mereka peroleh. Atau dengan kata lain, kompetensi apa yang harus
mereka miliki melalui materi yang disajikan.
2.2. Subyek Pendidikan
A. Pengertian Subyek
Pendidikan
Subyek pendidikan adalah orang maupun kelompok yang bertanggung jawab
dalam memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau yang
disampaikan dapat dipahami oleh objek pendidikan.
Subyek pendidikan yang dipahami kebanyakan para ahli pendidikan adalah
orang tua, guru-guru di institusi formal (disekolah) maupun non formal dan
lingkungan masyarakat, sedangkan pendidikan pertama (tarbiyatul awwal) yang kita pahami selama ini adalah rumah tangga
(orang tua). Sebagai seorang muslim kita harus menyatakan bahwa pendidik
pertama manusia adalah Allah dan yang kedua adalah Rasulullah.
B. Ayat Al-Qur’an Yang Berkaitan Dengan Subyek
Pendidikan
1.
Surah
An-Najm: 1-10
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى
(١) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (٢) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣) إِنْ
هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (٥) ذُومِرَّةٍ
فَاسْتَوَى (٦) وَهُوَ بِالأفُقِ الأعْلَى (٧) ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى (٨) فَكَانَ
قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (٩) فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (١٠)
Artinya:
(1) Demi bintang ketika
terbenam.(2)Kawanmu (Muhammad)
tidak sesat dan tidak pula keliru.(3)Dan tidaklah yang
diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut keinginannya.(4) Tidak lain (Al Qur’an
itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).(5)Yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.(6) Yang mempunyai
keteguhan, maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.(7)Sedang dia berada di
ufuk yang tinggi.(8)Kemudian dia mendekat
(Kepada Muhammad untuk menyampaikan wahyu), lalu bertambah dekat.(9)Sehingga jaraknya
(sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi).(10) Lalu
disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan
Allah.
Dalam ayat tersebut
dijelaskan bahwa:
Allah Swt bersumpah dengan
bintang ketika terbenam di ufuk di akhir malam ketika malam pergi dan siang
datang. Hal itu, karena di sana terdapat ayat-ayat Allah yang besar. Allah Swt bersumpah dengan
bintang untuk menerangkan kebenaran yang dibawa Rasulullah saw berupa wahyu ilahi
karena di sana terdapat persesuaian yang menakjubkan. Allah Swt
menjadikan
bintang-bintang sebagai hiasan bagi langit, demikian pula wahyu dan
atsar(pengaruh)nya sebagai hiasan bagi bumi. Jika tidak ada ilmu yang
diwariskan dari para nabi, tentu manusia berada dalam kegelapan, bahkan lebih
gelap dari malam yang kelam. Isi sumpah itu adalah membersihkan Nabi Muhammad saw
dari tuduhan sesat
dalam ilmunya dan dalam niatnya, dimana hal ini menghendaki Beliau sebagai
orang yang mendapat petunjuk dalam ilmunya dan memberi petunjuk yang baik
niatnya serta memberikan sikap tulus kepada umatnya;
berbeda dengan orang-sesat yang sesat; yang rusak ilmu dan niatnya.
Disebutkan kata
“kawanmu” untuk mengingatkan mereka, bahwa mereka telah
mengenal keadaan dan pribadi Beliau yang penuh dengan kejujuran dan petunjuk,
dan bahwa keadaan Beliau tidak samar bagi mereka.Yakni tidak ada yang ia ikuti
selain wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya. Ayat ini menunjukkan bahwa As
Sunnah termasuk wahyu Allah kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla, “Dan (juga karena) Allah telah
menurunkan kitab dan hikmah kepadamu,...” (Terj. An Nisaa’: 113), dan bahwa
Beliau ma’shum dalam hal yang Beliau sampaikan dari Allah, karena ucapannya
tidak keluar dari keinginannya, tetapi dari wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Surah
An-Najm termasuk kedalam surah Makiyah, jumlah ayatnya terdiri dari 62 ayat.
Surah ini diturunkan sesudah surah Al-Ikhlas. Nama An-Najm yang berarti
bintang, diambil dari perkataan An-Najm yang terdapat pada ayat pertama surah
ini. Menurut keterangan yang shahih, surah An-Najm ini surah yang pertama kali
dikemukakan oleh Rosulullah saw.
Pada
surah An-Najm ini ditegaskanya klasifikasi seorang pendidik atau siapa saja
yang berkompeten menjadi subjek pendidikan yakni seperti yang tersurah dalam
ayat ini adalah seperti halnya seorang malaikat jibril yang mana beliau
digambarkan sebagai berikut:
a.
Sangat kuat, maksudnya
memiliki fisik dan psikis yang matang dan mampu memecahkan masalah.
b.
Mempunyai akal yang
cerdas, yakni seorang pendidik haruslah memiliki akal yang mumpuni dalam
bidangnya yakni berkompeten dalam mengajarkan apa yang diajarkannya sebagai
seorang subyek pendidikan.
c.
Menampakan dengan rupanya
yang asli, yakni seorang subyek pendidikan hendaklah bersikap wajar yang tidak
melebih-lebihkan segala sesuatu baik dari dirinya maupun apa yang dilakoninya
dalam bidangnya.
Sedangkan
dalam tafsir Al-Qurtubi dijelaskan bahwa seluruh mufassir mengatakan شديد القوى adalah
malaikat Jibril, kecuali Al-Hasan, ia menyatakan bahwaشديد القوى
adalah Allah saw. Adapun kalimat ذومرة berarti
memiliki kekuatan dan kecerdasan atau wawasan luas. Demikian pula yang
dinyatakan oleh Ibnu Katsir. Dengan merujuk kepada pendapat jumhur mufassir,
ayat ini berbicara tentang malaikat Jibril yang menjadi guru besar nabi
Muhammad saw. terlepas dari perbedaan mengenai figur yang disebut pada ayat 5,
seluruh mufassir sepakat bahwa figur yang dimaksud bersifat memiliki kekuatan
dalam segala dimensinya serta kecerdasan khusus. Dengan demikian, makna
pendidikan dalam ayat ini adalah bahwa seorang pendidik seyogyanya merupakan
sosok yang kuat, baik dari segi fisik, mental, ekonomi, maupun intelektual.
Dan
hati Rasulullah saw sejalan dengan penglihatannya terhadap wahyu yang diwahyukan
Allah kepadanya, sejalan pendengaran, hati dan penglihatannya. Hal ini
menunjukkan sempurnanya wahyu yang Allah wahyukan kepada Beliau dan bahwa Beliau
menerimanya dengan penerimaan yang tidak ada keraguan lagi; hatinya tidak
mendustakan apa yang dilihat matanya serta tidak ragu-ragu terhadapnya. Bisa
juga maksudnya, apa yang Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam lihat pada malam
isra’ berupa ayat-ayat Allah yang besar, dan bahwa Beliau meyakininya dengan
sepenuh hati. Apa yang Beliau lihat adalah malaikat Jibril ‘alaihis salam
sebagaimana yang ditunjukkan susunan ayat di atas, dan bahwa Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam melihat malaikat Jibril dalam rupa aslinya dua
kali; pertama di ufuk yang tinggi di bawah langit dunia sebagaimana telah
disebutkan, dan kedua di atas langit yang ketujuh pada malam ketika Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam diisra’kan.
2.Surah
An-Nahl : 43-44
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ)43( بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ )44
Artinya:(43) Dan Kami tidak mengutus
sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui,( 44 ) keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan
Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.(Q.S AN-NAHL:
43-44)
Surah
An-Nahl adalah surah ke-16 dalam Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 128 ayat dan
termasuk surah makiyyah. Surah ini dinamakan An-Nahl yang berarti lebah, karena
didalamnya terdapat firman Allah SWT, yaitu pada ayat 68 yang artinya : ”Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”. Lebah adalah makhluk Allah yang banyak
memberi manfaat dan kenikmatan kepada manusia. Ada persamaan antara madu yang
dihasilkan oleh lebah dengan Al-Qur’an Al-Karim. Madu berasal dari
bermacam-macam sari bunga dan dia menjadi obat bagi bermacam-macam penyakit
manusia. Sedang Al-Qur’an mengandung inti sari dari kitab-kitab yang telah
diturunkan kepada nabi-nabi zaman dahulu ditambah dengan ajaran-ajaran yang
diperlukan oleh semua bangsa sepanjang masa untuk mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat. Surah ini dinamakan pula An-Ni’amartinya
nikmat-nikmat, karena didalamnya Allah menyebutkan berbagai macam kenikmatan
yang diperuntukan hamba-hambanya.
Penyebutan
anugerah Allah kepada nabi Muhammad secara khusus dan bahwa yang
dianugerahkan-Nya itu adalah adz-dzikr mengesankan perbedaan kedudukan beliau
dengan para nabi dan para rasul sebelumnya. Dalam konteks ini nabi Muhammad
saw bersabda artinya:
”Tidak
seorang nabi pun kecuali telah dianugerahkan Allah apa (bukti-bukti indrawi)
yang menjadikan manusia percaya padanya. Dan sesungguhnya aku dianugerahi wahyu
(Al-Qur’an) yang bersifat immaterial dan kekal sepanjang masa, akan aku
mengharap menjadi yang paling banyak pengikutnya dihari kemudian”.
(HR.Bukhari).
Adapun
dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa kata أهل الذكر ditafsirkan
sebagai العلماء بالتوراة والانجيل (para ulama yang
memahami kitab Taurat dan kitab Injil). Ibnu Katsir menjelaskan hal yang senada
bahwa yang dimaksud dengan ahludz dzikr adalah ahli kitab
sebelum Muhammad saw.
Sementara
itu, kaitannya dengan subjek pendidikan pada ayat tersebut adalah bahwa seorang
guru dalam perannya sebagai ahli al-dzikr selain berfungsi sebagai orang yang
mengingatkan para peserta didik dari berbuat yang melanggar larangan Allah dan
rasul-Nya, juga sebagai seorang yang mendalami ajaran-ajaran yang berasal dari
Tuhan yang terdapat dalam berbagai kitab yang pernah diturunkan-Nya kepada para
nabi dan rasul-Nya dari sejak dahulu kala hingga sekarang. Sebagai ahli
al-dzikr ia dapat mencari titik persamaan antara ajaran yang terdapat didalam
berbagai kitab tersebut untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain
itu surah an-Nahl menerangkan bahwa Allah Swt mengutus utusannya dengan
terlebih dahulu memberikannya wahyu kepada utusannya, ini dikarenakan agar
segala bentuk pertanyaan yang mungkin diajukan kepada utusannya dapat dijawab
dan dipecahkan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah dan tidak mungkin
terjadi kedzaliman dalam hal ini.
Di
karenakan semua jawaban yang diberikan oleh utusannya adalah datang dari tuhan,
oleh karena itu, sebagai subyek pendidikan yang merupakan salah satu sumber
pendidikan hendaklah memiliki segala pengetahuan yang sesuai dengan kaidah ilmu
pengetahuan itu sendiri. Yakni sebagai seorang pendidik hendaklah mempersiapkan
segala sesuatu sebelum mengadakan proses pembelajaran yang mana jikalau
terdapat kasus-kasus pendidik dapat menyelesaikan apa yang muncul didalam
proses pembelajaran. Maka tidak salah jika salah satu syarat sebagai seorang
pendidik adalah memiliki kecerdasan pikiran mental dan juga spiritual yang
digambarkan pada ayat ini.
Dari berbagai
penjelasan diatas jika dihubungkan dengan pendidikan, maka akan muncul 2 hal
penting. Pertama, Mengenai Gambaran seperti apa seharusnya pelaku
pendidikan atau yang sering disebut dengan Subyek pendidikan itu, dan
yang Kedua, Mengenai bahan ajar atau sesuatu yang akan diajarkan
dan diterima oleh para pelaku pendidikan tersebut.
Mengenai pola
interaksi guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didik
berkaitan dengan
konsep dari para ahli pendidikan saat ini, yang kemudian menjelaskan
teori-teori pendidikan sekarang, penulis membaginya menjadi dua bagian pokok,
yaitu sebagai berikut:
a. Pendidik
Menurut Ahmad Tafsir,
syarat dan sifat guru adalah guru harus mengetahui karakteristik murid. Berkaitan
dengan otoritas guru untuk menguji, melakukan tes minat dan bakat untuk
mengetahui karakter dan kemampuan murid. (QS.Al Kahfi: 67-68).Al Ghazali
menjelaskan tugas guru adalah ia mencukupkan bagi murid itu menurut
kadar pemahamanya, maka ia tidak menyampaikan kepada murid sesuatu yang tidak
terjangkau oleh akalnya. (QS.Al Kahfi: 67-68)Ahmad Tafsir dalam Nurtawab
menjelaskan tugas guru adalah mendidik. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam
bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum,
memberi contoh, membiasakan dan lain-lain. Berkaitan dengan guru harus
memberikan contoh berkata-kata yang baik dan sopan kepada murid QS. Al
Kahfi:67-68). Ramayulis menjelaskan, pendidik sebagai pengajar yang bertugas
merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah tersusun.
Dengan demikian sorang guru harus menyusun kontrak belajar (QS. Al Kahfi: 70)
b. Peserta didik
Dalam menuntut ilmu,
menurut Mohammad Athiyah al-Arbasy, seorang peserta didik harus memiliki niat
yang mulia.(QS. Al-Kahfi:60). Lebih lanjut al-Arbasiy mengatakan, kewajiban
peserta didik salah satunya adalah menyenangkan hati guru, caranya salah
satunya tidak terlalu banyak bertanya yang merepotkan guru. (QS.Al-Kahfi 70).
Burhan al Din al-Zarnuji mengungkapkan pendapat Ali Bin Abi Thalib, tentang
enam hal penting yang perlu dilakukan oleh peserta didik salah satunya adalah
kesabaran. (QS. Al Kahfi:69). Menurut Ramayulis, peserta didik harus
menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan
cara yang baik, dimana peserta didik harus bersikap sopan kepada gurunya. (QS.
Al Kahfi: 66)
Hikmah yang dapat
diambil dari ayat tersebut yaitu, kita perlu bersabar dan tidak terburu-buru
mendapatkan kebijaksanaan dari setiap peristiwa yang dialami. Dan kita sebagai
siswa harus memelihara adab dengan gurunya. Setiap siswa harus bersedia
mendengar penjelasan seorang guru dari awal hingga akhir sebelum nantinya dapat
bertindak d luar perintah dari guru. Kisah nabi Khidir ini juga menunjukkan
bahwa Islam memberikan kedudukan yang sangat istimewa kepada guru.
Selain itu juga satu
hikmah selain sabar, yang didapatkan dari kisah tersebut yaitu ilmu itu
merupakan karunia terbesar yang diberikan oleh Allah SWT. Tidak ada makhluk
manapun, seorang manusia pun yang lebih berilmu dariNya. Tidak ada seorang
manusia yang mengklaim bahwa dirinya lebih berilmu disbanding yang lainya. Hal
ini dikarenakan ada ilmu yang merupakan anugrah dari Allah yang diberikan pada
seseorang tanpa harus mempelajarinya (ilmu Ladunny, yaitu ilmu yang dikhususkan
bagi hamba-hamba Allah yang shalih dan terpilih).
2.3.
Obyek Pendidikan
A.
Pengertian Obyek Pendidikan
Dalam
dunia pendidikan, seorang pendidik seperti orang tua,guru,kiyai,tokoh, yang
berposisi sebagai subyek. Sedangkan anak didik tidak dapat dianggap sebagai
obyek, meskipun terhadap mereka inilah proses pendidikan ditujukan. Sementara
lingkungan merupakan kesatuan yang berpautan secara utuh dan erat antara subyek
dan obyek pendidikan. Oleh karena itu, sasaran ang akan dicapai dalam
pendidikan adalah obyek yang nyata dan kenyataan yang obyektif. Obyek nyata
yang mampu mempertemukan antara subyek dan obyek pendidikan dalam satu kondisi,
disebut ilmu. Sedangkan kenyataan yang obyektif lazim disebut dengan al-hikmah.
Dalam pandangan Al-Qur’an manusia mempunyai potensi untuk meraih ilmu serta
mengembangkan. Oleh karena itu, banyak ayat yang memperintahkan manusia untuk
menempuh berbagai cara untuk terwujudnya hal tersebut.
Dalam pandangan
Al-Qur’an, obyek ilmu meliputi hal-hal yang bersifat materil, dan juga yang non
materil. Fenomental dan non fenomental bahkan ada wujud yang tidak dapat
dijangkau oleh manusia.
B.
Tafsir Al-Qur’an Yang Berkaitan Dengan Obyek Pendidikan
A. QS. At Tahrim Ayat 6
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6). Dalam ayat ini terdapat lafadz
perintah beruppa fi’il amr yang secara langsung dan tegas, yakni lafadz
(peliharalah/ jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang Mu’min
salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka. Dalam tafsir jalalain proses
penjagaan tersebut adalah dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah SWT. Merupakan tanggung jawab setiap
manusia untuk menjaga dirinya sendiri, serta keluarganya, sebab manusia
merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan
dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana sabda Rosuloulloh SAW.
“Dari
Ibnu Umar ra. Berkata: saya mendengar Rosululloh SAW. Bersabda: setiap dari
kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban
atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanyai atas
kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan
ditanyai atas kepemimpinannya….. (HR. Bukhary-Muslim) Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke
6 ini turun, Umar berkata: “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan
bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW. menjawab: “Larang mereka
mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan
apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya
meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar
dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan
mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepadanya. Maka jelas
bahwa tugas manusia tidak hanya menjaga dirinya sendiri, namun juga keluarganya
dari siksa neraka. Untuk dapat melaksanakan taat kepada Allah SWT, tentunya
harus dengan menjalankan segala perintahNya, serta menjauhi segala laranganNya.
Dan itu semua tak akan bisa terjadi tanpa adanya pendidikan syari’at. Maka
disimpulkan bahwa keluarga juga merupakan objek pendidikan. Dilihat dari ayat itu sendiri
terdapat hubungan antar kalimat (munasabah), bahwa manusia diharapkan seperti
prilaku malaikat, yakni mengerjakan apa yang diperintah Allah SWT. Tafsiran: ayat ini menerangkan
tentang ultimatum kepada kaum mu’minin (diri dan keluarganya) untuk tidak
melakukan kemurtadan dengan lidahnya, meskipun hatinya tidak.
Kesimpulan: ayat ini
menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka, yang bisa disimpulkan juga
merupakan untuk tarbiyah diri dan keluarga.
B. QS. Asy Syu’araa Ayat 214
“Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S Asy Syu’ara’:
214). Sesuai dengan
ayat sebelumnya (QS. At Tahrim: 6) bahwa terdapat perintah langsung dengan
fi’il amar (berilah peringatan). Namun perbedaannya adalah tentang objeknya,
dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat. ”Al Aqrobyn” mereka adalah Bani
Hasyim dan Bani Mutalib, lalu Nabi saw. memberikan peringatan kepada mereka
secara terang-terangan; demikianlah menurut keterangan hadis yang telah
dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Namun hal ini bukan berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim dan Muthollib, tetapi juga untuk seluruh umat Islam. Sebab sesuai kaidah ushul fiqh:
Namun hal ini bukan berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim dan Muthollib, tetapi juga untuk seluruh umat Islam. Sebab sesuai kaidah ushul fiqh:
”…dengan umumnya
lafadz, bukan dengan khususnya sebab”. Dilihat dari munasabah ayat, selanjutnya
terdapat ayat ke-215
”Dan rendahkanlah
dirimu terhadap orang-orang yang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”
(QS. Asy-Syu’araa: 215). Jadi perintah ini juga berlaku untuk seluruh umat Islam. Asbab nuzul ayat ini, Ketika ayat
ini turun Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Bani Abdul Muthalib, demi Allah aku
tidak pernah menemukan sesuatu yang lebih baik di seluruh bangsa Arab dari apa
yang kubawa untukmu. Aku datang kepadamu untuk kebaikan di dunia dan akhirat.
Allah telah menyuruhku mengajakmu kepada-Nya. Maka, siapakah di antara kamu
yang bersedia membantuku dalam urusan ini untuk menjadi saudaraku dan washiku
serta khalifahku?” Mereka semua tidak bersedia kecuali Ali bin Abi Thalib. Di
antara hadirin beliaulah yang paling muda. Ali berdiri seraya berkata: “Aku ya,
RasulullahNabi. Aku (bersedia menjadi) wazirmu dalam urusan ini”. Lalu
Rasulullah SAW memegang bahu Ali seraya bersabda: “Sesungguhnya Ali ini adalah
saudaraku dan washiku serta khalifahku terhadap kalian. Oleh karena itu,
dengarkanlah dan taatilah ia.” Mereka tertawa terbahak-bahak sambil berkata
kepada Abu Thalib: “Kamu disuruh mendengar dan mentaati anakmu”. Umat Islam adalah saudara bagi
yang lain, maka harus saling mendidik dan menasehati. Sebagaimana sabda Nabi
SAW :
“ Dari Jarir Ibn
Abdillah ra. Berkata: saya bersumpah setia kepada Rosululloh SAW untuk
mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menasehati kepada setiap muslim”. (HR.
Bukhory-Muslim). Maka
kerabat-kerabat kita terdekat merupakan juga objek dakwah dan tarbiyah.
C. QS. At Taubah: 122
”Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Dalam
ayat ini juga terdapat dua lafadz fi’il amar yang disertai dengan lam amar,
yakni (supaya mereka memperdalam ilmu agama) dan lafadz (supaya mereka membari
peringatan),yang berarti kewajiban untuk belajar dan mengajar. Adapun proses belajar dan mengajar
sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Sabda beliau:
”Dan darinya (Abu
Hurairah ra. Sesungguhnya Rosululloh SAW bersabda: barangsiapa yang mengajak
kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tidak dikurangi
sedikitpun dari padanya. (HR. Muslim).
Asbab nuzulnya adalah
Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang
kemudian Nabi saw. mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan
perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya
berikut ini: (Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi) ke medan
perang (semuanya. Mengapa tidak) (pergi dari tiap-tiap golongan) suatu kabilah
(di antara mereka beberapa orang) beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap
tinggal di tempat (untuk memperdalam pengetahuan mereka), yakni tetap tinggal di tempat
(mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada
mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya
bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana
pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi saw. tidak ikut. Sedangkan ayat
sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak
ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila
Nabi saw. berangkat ke suatu ghazwah. Kesimpulan: maka tidak sepatutnya seluruh
kaum muslimin pergi berperang (jihad), namun harus ada juga yang harus belajar
dan mengajar. Sebab proses tarbiyah sangat pentingbagi kukuhnya Islam. Rosul
SAW bersabda (artinya): ”Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk
menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di
medan perang)” (HR. Syaikhani).
D. QS. An Nisaa’: 170
”Wahai
manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan
(membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik
bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan sedikitpun
kepada Allah) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah
kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Qs. An
Nisa’: 170). Dalam ayat
ini Allah menyeru kepada manusia untuk beriman, sebab sudah ada Rosul (Nabi
Muhammad SAW) yang diutus untuk membawa syari’at yang benar. Dalam tafsir disebutkan bahwa
lafadz An Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli kafir Mekah. Adapun manusia, karena adanya
kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah,maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim
pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik. Nabi SAW bersabda:
”Dari Abdullah Ibn
’Amr Ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya Nabi SAW besabda: sampaikanlah dariku
walau sat ayat…..” (HR. Bukhory). Kesimpulan: Maka manusia baik yang muslim maupun non muslim
merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan, bahwa
proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi
dengan jalan yang hikmah, mauidzoh hasanah, dan argumen yang bertanggung jawab.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan makalah tersebut dapat disimpulkan
bahwa pendidikan mempunyai tujuan utama yang hendak dicapai yaitu menjadikan
peserta didik atau orang yang mencari ilmu, menjadi orang yang beriman kepada
Allah. Tidak hanya untuk kepentingan didunia saja. Semetara pesertadidik dalam
pembelajaran tidak hanya berperan sebagai obyek pendidikan namun sebagai subyek
karena diutamakan untuk ikut aktif atau berperan dalam pembelajaran. Pendidikan atau tarbiyah merupakan proses
penting untuk melaksanakan taat kepada Allah SWT dan menggapai ridhonya, sebab
belajar dan mengajar diwajibkan dalam Islam. Manusia seluruhnya merupakan objek pendidikan
(tarbiyah dan dakwah), namun perlu adanya prioritas untuk kedua hal tersebut,
yaitu dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, kerabat, orang Islam, dan
akhirnya kepada sesama manusia (non muslim)
3.2. Saran
Sebagai
umat Islam harusnya kita dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan kaidah
tafsir yang benar, supaya kita dapat mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari dengan benar pula.
DaftarPustaka
1. Sayyid Ahmad Hasyimi. 1971. Mukhtarul Ahaditsun
Nabawiyyah.
Surabaya: Haromain.
2. Drs. Moh. Harisuddin Cholil, M. Ag. 2009. Ushul
Fiqh I. Kertosono: STAI Mifathul ‘Ula.
3. K.Ahmad Subhi
Musyhadi. 1981. Misbahul Anam Syarh Bulughul Marom . Pekalongan: Maktabah Raja Murah
4. Al
Allamah Abu Zakariya Al Anshory. Tanpa tahun. Riyadhus Sholihin.
Surabaya: Haromain
Thanks you very much :-)
BalasHapus